MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
BAB I
PENDAHULUAN
Kontruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk,
2001:3). Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep
ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan
paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai landasan paradigma
pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa
dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan
perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Seruan
tersebut memberi dampak terhadap landasan teori belajar dalam dunia pendidikan
di Indonesia. Semula teori belajar dalam pendidikan Indonesia, lebih didominasi
aliran psikologi behaviorisme. Akan tetapi saat ini, para pakar pendidikan di
Indonesia banyak yang menyerukan agar landasan teori belajar mengaju pada
aliran konstruktivisme.
Akibatnya,
oreintasi pembelajaran di kelas mengalami pergeseran. Orentasi pembelajaran
bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa.
Siswa
tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap
pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa
dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa
kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat
informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau
sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya,
perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet.
Bagi
aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu.
Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan
sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih
menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai
fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.
Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan
memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan
pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).
Oleh
karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa
dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan
melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).
Memperhatikan
uraian diatas, nampanya pembelajaran dengan pendekatan problem posing sejalan
dengan prinsip pembelajaran berparadigma konstruktivisme. Melalui pembelajaran
dengan pendekatan problem posing, siswa bisa belajar aktif dan mandiri. Ia akan
membagun pengetahuannya dari yang sederhana menuju pengetahuan yang kompleks.
Dan dengan bantuan guru, siswa bisa diarahkan untuk mengaitkan suatu informasi
dengan informasi yang lainnya sehingga terbentuk suatu pemahaman baru.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
A. Pengertian
dan Tujuan Konstruktivisme
Menurut
faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada
orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga
terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar
itu berarti membentuk pengertian atau ……pengetahuan secara aktif dan
terus-menerus (Suparno, 1997).
Kontruksi
berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan
menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun
atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan
teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang
lain.
Dari
keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya sendiri.
Adapun
tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
1.
Adanya motivasi untuk siswa bahwa
belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri. Mengembangkan kemampuan siswa
untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
2.
Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
3.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
menjadi pemikir yang mandiri.
4.
Lebih menekankan pada proses belajar
bagaimana belajar itu.
Salah
satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis
ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
B. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontrutivisme
1.
Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam
merancang program, implementasi program dan evaluasi.
2.
Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3.
Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan
awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4.
Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang
telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk
menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang
salah dan mana yang miskonsepsi.
5.
Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi
pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6.
Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini
merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga
langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali
ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
7.
Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka
dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8.
Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil
evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis
terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang
resisten.
9.
Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang
resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan
konsepsi siswa dalam bentuk modul.
C. Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
1.
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam
dunia sebenar
2.
Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai
panduan merancang pengajaran.
3.
Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
4.
Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
5.
Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid
6.
Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
7.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil
pembelajaran.
8.
Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.
D. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara
garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah:
1.
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
2.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar
3.
Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah
4.
Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.
5.
Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
6.
Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7.
Mmencari dan menilai pendapat siswa
8.
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
E. Keunggulan dan
Kelemahan Model Konstrutivisme
§ Keunggulan Model kontruktivisme
1.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan
gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi
gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang
gagasannya.
2.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan
dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang
fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa
terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang
menantang siswa.
1.
Pembelajaran konstruktivisme memberi
siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong
siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori,
mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
4.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri
dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru
dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
5.
Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6.
Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan
selalu ada satu jawaban yang benar.
§ Kelemahan Model Konstruktivisme
Dalam
bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu
mendukung.
BAB III
PENUTUP
1.
A. Kesimpulan
Kontruksi
berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
1.
B. Saran
Dalam
upaya menumbuhkan dan mengembangkan situasi yang kondusif dalam pembelajaran
guru hendaknya mengambil posisi sebagai pasilitator dan mediator pembelajaran.
Peran sebagai pasilitator dan mediator pembelajaran akan memberikan kesempatan
yang luas kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dan argumentasinya sehingga
proses negosiasi makna dapat dilaksanakan. Melalui nogosiasi makna, siswa akan
terhindar dari cara belajar menghafal.
DAFTAR PUSTAKA
Berg,
Euwe Van Den (Ed). (1991). Salah
konsep Fisika dan Remidiasi. UKSW:
Salatiga
Bodner,
G.M. (1986). Constructivism: A theory of knowledge. Journal of Chemical
Education, 63 (10)
Departemen
Pendidikan Nasional. (2002).
Kurikulum Berbasis Kompetensi.Jakarta
:Depdiknas
Direktorat
PLP. (2002). Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching and Leraning (CTL)). Jakarta:
Departemen
Pendidikan Nasional.
Driver,
R. (1988). Changing
conceptions. Centre for Student in Science and
Mathematics Education,
University
of Lees
Fosnot,
C.T. (1989).
Equiring Teacher Equiring Learners. A Constructivist Approach for Teaching.
New
York: Teachers Colloge Press
Hudoyo,
H. 1998. Mengajar
belajar Matematika. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi.
Novak,
J.D. & Gowin, B. ( 1985). Learning
how to Learn. Cambridge University Press.
Sadia,
dkk. (1996). Pengaruh
Prior Knowledge dan Strategi Conseptual Change Dalam
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah
Menengah Pertama (SMP). Laporan
Penelitian
Basic Science.
University
of Washington. (2002). Indonesian
Teaching Training Proyect, The Washington State
Consortium For Contextual Teaching And Learning.
Wheatly,
Grayson H. (1991). Constructivist
perspectives on Science and Mathematics Learning
Tidak ada komentar:
Posting Komentar